Pada artikel kali ini admin akan memberikan informasi kepada anda semua, tentang wisata sejarah di Mojokerto. Anda tahu kabupaten Mojokerto merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Timur, dimana luas wilayah seluruhnya adalah 969.360 Km2.
Secara Geografis wilayah Kabupaten Mojokerto terletak diantara 111 20’13” s/d 111 40’47” Bujur Timur dan antara 7 18’35 s/d 7 47” Lintang selatan dan terdiri atas 18 kecamatan dan 299 Desa.
Berdasarkan strukutur tanahnya, wilayah Kabupaten Mojokerto cenderung cekung ditengah-tengah dan tinggi dibagian selatan dan utara. Bagian selatan merupakan wilayah pegunungan dengan kondisi tanah yang subur, yaitu meliputi Kecamatan Pacet, Trawas, Gondang dan Jatirejo. Bagian tengah merupakan wilayah dataran sedang, sedangkan bagian utara merupakan perbukitan kapur.
Baca : 23+ Daftar Wisata di Pacet, Wajib Anda Kunjungi
Kabupaten mojokerto mempunyai potensi pariwisata yang dapat menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) pada Kabupaten Mojokerto cukup besar. Seperti halnya wisata sejarah yang ada di mojokerto, dibawah ini admin akan berikan informasi yang di ambil dari berbagai sumber.
1. SITI INGGIL
Siti inggil diartikan tanah yang tinggi, atau tanah yang diagungkan merupakan sebuah tempat persinggahan dan pertapaan dari Raja I Kerajaan Majapahit bernama Raden Wijaya. Siti inggil tepatnya berada di Dusun Kedungwulan, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Mojokerto.
Pada awalnya Siti Inggil adalah sebuah punden yang berada di Dusun Kedungwulan dan mempunyai nama Lemah Geneng atau nama lain dari Siti Inggil.
2. MUSEUM TROWULAN
Museum Trowulan merupakan salah satu wisata sejarah di Mojokerto yang juga disebut Museum Arkeolog terletak di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. Museum ini dibangun untuk menyimpan berbagai Artefak dan temuan Arkeolog yang ditemukan disekitar Trowulan.
Tempat ini adalah salah satu lokasi bersejarah terpenting di Indonesia yang berkaitan dengan sejarah Kerajaan Majapahit.
Kebanyakan dari koleksi Museum ini berasal dari Kerajaan Majapahit, akan tetapi koleksinya juga mencakup berbagai era sejarah di Jawa Timur, seperti masa kerajaan Kahuripan, kediri dan Singasari.
Museum ini terletak di tepi barat Kolam Segaran. Museum Trowulan adalah museum yang memiliki koleksi relik yang berasal dari masa Majapahit terlengkap di Indonesia.
3. CANDI BRAHU
Candi Brahu terletak di Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto.
Tepat di depan kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur yang terletak di jalan raya Mojokerto – Jombang terdapat jalan masuk ke arah utara yang agak sempit namun telah diaspal. Candi Brahu terletak di sisi kanan jalan kecil tersebut, sekitar 1,8 km dari jalan raya.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa Candi Brahu lebih tua dibandingkan candi lain yang ada di sekitar Trowulan.
Nama Brahu dihubungkan diperkirakan berasal dari kata ‘Wanaru’ atau ‘Warahu’, yaitu nama sebuah bangunan suci yang disebutkan di dalam prasasti tembaga ‘Alasantan’ yang ditemukan kira-kira 45 meter disebelah barat Candi Brahu.
Prasasti ini dibuat pada tahun 861 Saka atau, tepatnya, 9 September 939 M atas perintah Raja Mpu Sindok dari Kahuripan. Menurut masyarakat di sekitarnya, candi ini dahulu berfungsi sebagai tempat pembakaran jenasah raja-raja Brawijaya.
Akan tetapi, hasil penelitian yang dilakukan para pakar wisata sejarah di Mojokerto terhadap candi tersebut tidak menunjukkan adanya bekas-bekas abu atau mayat, karena bilik candi sekarang sudah kosong.
4. CANDI BAJANG RATU
Candi Bajangratu terletah di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, sekitar 3,5 km dari Candi Wringinlawang dan sekitar 600 m dari Candi Tikus.
Di dalam deretan wisata sejarah di Mojokerto, candi ini masih menyimpan banyak hal yang belum diketahui secara pasti, baik mengenai tahun pembuatannya, raja yang memerintahkan pembangunannya, fungsinya, maupun segi-segi lainnya.
Nama Bajangratu pertama kali disebut dalam Oudheidkunding Verslag (OV) tahun 1915. Arkeolog Sri Soeyatmi Satari menduga nama Bajangratu ada hubungannya dengan Raja Jayanegara dari Majapahit, karena kata ‘bajang’ berarti kerdil.
Menurut Kitab Pararaton dan cerita rakyat, Jayanegara dinobatkan tatkala masih berusia bajang atau masih kecil, sehingga gelar Ratu Bajang atau Bajangratu melekat padanya.
Mengenai fungsi candi, diperkirakan bahwa Candi Bajangratu didirikan untuk menghormati Jayanegara. Dasar perkiraan ini adalah adanya relief Sri Tanjung di bagian kaki gapura yang menggambarkan cerita peruwatan.
Relief yang memuat cerita peruwatan ditemukan juga, antara lain, di Candi Surawana. Candi Surawana diduga dibangun sehubungan dengan wafatnya Bhre Wengker (akhir abad ke-7).
Dalam Kitab Pararaton dijelaskan bahwa Jayanegara wafat tahun 1328 (‘sira ta dhinar meng Kapopongan, bhiseka ring csrenggapura pratista ring Antarawulan’).
Disebutkan juga bahwa Raja Jayanegara, yang kembali ke alam Wisnu (wafat) pada tahun 1328, dibuatkan tempat sucinya di dalam kedaton, dibuatkan arcanya dalam bentuk Wisnu di Shila Petak dan Bubat, serta dibuatkan arcanya dalam bentuk Amoghasidhi di Sukalila.
Menurut Krom, Csrenggapura dalam Pararaton sama dengan Antarasasi (Antarawulan) dalam Negarakertagama, sehingga dapat disimpulkan bahwa ‘dharma’ (tempat suci) Raja Jayanegara berada di Kapopongan alias Csrenggapura alias Crirangga Pura alias Antarawulan, yang kini disebut Trowulan.
Arca perwujudan sang raja dalam bentuk Wisnu juga terdapat di Bubat (Trowulan). Hanya lokasi Shila Petak (Selapethak) yang belum diketahui.
Candi Bajangratu telah mengalami pemugaran pada zaman Belanda, namun tidak didapatkan data mengenai kapan tepatnya pemugaran tersebut dilaksanakan.
Perbaikan yang telah dilakukan mencakup penguatan pada bagian sudut dengan cara mengisikan adonan pengeras ke dalam nat-nat yang renggang dan mengganti balok-balok kayu dengan semen cor. Beberapa batu yang hilang dari susunan anak tangga anak tangga juga sudah diganti.
5. CANDI TIKUS
Candi Tikus, siapa yang tidak kenal candi yang satu ini, sangat populer di daftar wisata sejarah di Mojokerto. Yaitu sebuah peninggalan dari kerajaan yang bercorak hindu yang terletak di Kompleks Trowulan, tepatnya di dukuh Dinuk, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Nama ‘Tikus’ hanya merupakan sebutan yang digunakan masyarakat setempat. Konon, pada saat ditemukan, tempat Candi tersebut berada merupakan sarang tikus.
Mengunjungi Candi Tikus ini, jauhnya sekitar 13 km di sebelah tenggara kota Mojokerto. Patokannya dari jalan raya Mojokerto-Jombang, tepat di perempatan Trowulan, membelok ke timur, melewati Kolam Segaran dan sekitar 600 m dari Candi Bajangratu di sebelah kiri jalan.
Candi Tikus yang semula telah terkubur dalam tanah ditemukan kembali pada tahun 1914. Penggalian situs dilakukan berdasarkan laporan bupati Mojokerto, R.A.A. Kromojoyo Adinegoro, tentang ditemukannya miniatur candi di sebuah pekuburan rakyat. Pemugaran secara menyeluruh dilakukan pada tahun 1984 sampai dengan 1985.
Belum didapatkan sumber informasi tertulis yang menerangkan secara jelas tentang kapan, untuk apa, dan oleh siapa Candi Tikus dibangun.
Akan tetapi dengan adanya miniatur menara diperkirakan candi ini dibangun antara abad ke-13 sampai ke-14 M, karena miniatur menara merupakan ciri arsitektur pada masa itu.
6. KOLAM SEGARAN
Kolam Segaran terletak di Dukuh Trowulan, Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Dari perempatan jalan raya Mojokerto-Jombang terdapat jalan simpang ke arah selatan. Letak kolam di sisi kiri jalan simpang tersebut, sekitar 500 meter dari jalan raya.
Kolam Segaran ditemukan pada tahun 1926, dalam keadaan teruruk tanah. Pada tahun 1966 kolam ini mengalami pemugaran sekedarnya. Baru pada tahun 1974 dimulai pelaksanaan pemugaran yang lebih terencana dan menyeluruh, yang memakan waktu sepuluh tahun.
Fungsi Kolam Segaran belum diketahui secara pasti, tetapi menurut masyarakat di sekitarnya, kolam tersebut digunakan keluarga Kerajaan Majapahit untuk berekreasi dan menjamu tamu dari luar negeri.
Kolam ini merupakan satu-satunya bangunan kolam kuno terbesar yang pernah ditemukan di Indonesia. Kolam yang luas keseluruhannya kurang lebih 6,5 hektar, membujur ke arah utara-selatan sepanjang 375 m dengan lebar 175 m. Sekeliling tepi kolam dilapisi dinding setebal 1,60 m dengan kedalaman 2,88 m.
Di pintu masuk yang terletak di sebelah barat, terdapat emperan yang menjorok ke tengah kolam. Di sisi dalam emperan terdapat undakan untuk turun ke kolam.
Seluruh dinding dan emperan terbuat dari susunan batu bata tanpa bahan perekat. Konon untuk merekatkannya, batu bata yang berdampingan digosokkan satu sama lain.
Di sisi tenggara terdapat saluran yang merupakan jalan masuk air ke dalam kolam, sedangkan di sisi barat laut terdapat saluran jalan keluar air. Air yang keluar mengalir ke Balongdawa (empang panjang) yang letaknya di barat laut dan Balongbunder (empang bundar) di selatan.
Menilik adanya saluran masuk dan keluar air, diduga Kolam Segaran dahulunya juga berfungsi sebagai waduk dan penampung air. Para ahli memperkirakan bahwa kolam ini adalah yang disebut sebagai telaga dalam Kitab Negarakertagama.
7. PETIRTAAN JOLOTUNDO
Berbicara mengenai wisata sejarah di Mojokerto pasti tak lepas dari kisah sejarah yang pernah terjadi di negeri ini. Salah satu Kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Timur ini menyimpan banyak warisan sejarah.
Kabupaten yang dulunya merupakan pusat pemerintahan dari kerajaan Majapahit, kerajaan terbesar di nusantara yang terletak di kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto. Ribuan situs sejarah masih tersimpan rapi di Mojokerto.
Salah satu situs sejarah yang terkenal dan sering diperbincangkan banyak orang adalah Petirtaan Jolotundo yang memiliki kualitas air terbaik peringkat 3 dunia. Petirtaan ini merupakan sebuah bangunan masa lampau yang dulu merupakan pemandian atau kolam yang dibuat pada masa kerajaan Kahuripan.
Petirtaan Jolotundo terletak di desa Seloliman, Trawas, Kabupaten Mojokerto, tepatnya terletak di lereng Gunung Bekal, yaitu salah satu puncak Gunung Penanggungan. Petirtaan Jolotundo memiliki panjang 16,85 M, lebar 13,52 M dan kedalaman 5,20 M dengan material utama dari batu andesit.
Data sejarah yang sangat penting yang berhubungan dengan situs purbakala ini adalah angka 899 saka yang dipahatkan sebelah kanan dan tulisan “Gempeng” disebelah kiri dinding belakang.
Menurut sejarahnya, petirtaan ini merupakan kolam cinta yang dibangun oleh Udayana, raja Bali, yang menikah dengan putri Guna Priya Dharma dari Jawa.
Dari perkawinan tersebut lahirlah Airlangga pada 991 M. Lalu pada tahun 997 M, raja Udayana membangun kolam ini, sesuai dengan angka yang tertera di dinding kolam, yang disiapkan untuk menyambut kelahiran putrannya yakni Prabu Airlangga.
Bangunan candi yang terbuat dari batu andesit ini memang menampakkan keistimewaan. Pahatan relief yang halus, menandakan jika proses pembuatannya membutuhkan tenaga terampil. Juga bentuk bangunan yang terkesan tidak biasa dengan 52 pancuran airnya.
Ratusan ikan berbagai jenis, tumbuh liar di kolam bagian bawah. Meski demikian, tak satupun pengunjung yang berani mengambik ikan-ikan tersebut. Mereka percaya, mengambil ikan di lokasi ini akan berbuntut petaka. Lantaran itu, pengunjung lebih memilih memberi makan ikan dari pada mengambilnya.
Sebagai salah satu warisan sejarah Indonesia, petirtaan Jolotundo ini semakin unik karena memiliki debit air yang tak pernah kering, walaupun di saat musim kemarau. Memiliki kandungan mineral yang tinggi, membuat air dalam kolam Jolotundo dinyatakan sebagai air terbaik di dunia “Penelitian tahun 1985, kualitas air di petirtan Jolotundo menduduki rangking 5 dunia (BP3 Trowulan).
Penelitian kedua juga dilakukan arkeolog Belanda pada tahun 1991. Hasilnya, kualitas air petirtan Jolotundo menduduki peringkat 3 dunia. Tentu saja hasil itu bukan main-main. Karena ternyata, kandungan mineral air petirtan ini sangat tinggi. Itupun bisa dibuktikan jika kita menyimpan air ini dalam jangka waktu yang lama.
Pada hari-hari tertentu petirtaan ini dijadikan tempat ritual bagi sebagian orang untuk mencari keberkahan. Disekitar candi, disediakan pendopo, gazebo untuk menikmati suasana pegunungan yang sejuk dan nyaman.
8. MAKAM TROLOYO
Makam Troloyo terletak Di Dukuh Sidodadi, Desa Sentonorejo, kecamatan Trowulan. Sangat toleransinya Majapahit terhadap agama Islam terlihat dari banyaknya makam Islam di desa Tralaya, dalam kota kerajaan, dengan angka tertua di batu nisan adalah tahun 1369 (saat Hayam Wuruk memerintah).
Yang menarik, walau kuburan Islam tetapi bentuk batu nisannya seperti kurawal yang mengingatkan kala-makara, berangka tahun huruf Kawi, yang berarti bahwa di abad XIV Islam walau agama baru bagi Majapahit tetapi sebagai unsur kebudayaan telah diterima masyarakat.
Diketahui pula bahwa para pendatang dari barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar beragama Islam, yang terus berkembang dan mencapai puncaknya di abad XVI saat kerajaan Demak.
Menurut cerita rakyat dan para pakar wisata sejarah di Mojokerto, Troloyo merupakan tempat peristrirahatan bagi kaum niagawan muslim dalam rangka menyebarkan agama Islam kepada Prabu Brawijaya V beserta para pengikutnya. Di hutan Troloyo tersebut kemudian dibuat petilasan untuk menandai peristiwa itu.
Tralaya berasal dari kata setra dan pralaya. Setra berarti tegal/tanah lapang tempat pembuangan bangkai (mayat), sedangkan berarti rusak/mati/kiamat. Kata setra dan pralaya disingkat menjadai ralaya.
Situs Troloyo terkenal sebagai tempat wisata religius semenjak masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur, saat mengadakan kunjungan ziarah ke tempat tersebut. Sejak saat itu, tempat ini banyak dikunjungi peziarah baik dari Trowulan maupun dari daerah lain, bahkan dari luar Jawa Timur.
Ketenaran Makam Troloyo ini juga disebabkan karena seringnya dikunjungi oleh para pejabat tinggi. Selain itu, pada hari-hari tertentu seperti malam Jumat Legi, haul Syekh Jumadil Qubro, dan Gerebeg Suro di tempat ini dilakukan upacara adat yang semakin menarik wisatawan untuk datang ke tempat ini.
Situs Troloyo merupakan salah satu bukti keberadaan komunitas muslim pada masa Majapahit. Situs ini terletak di Dusun Sidodadi, Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Untuk mencapai situs ini dapat ditempuh dari perempatan Trowulan kearah selatan sejauh ± 2 km.
9. PATUNG BUDHA TIDUR
Patung Buddha merupakan asimilasi budaya Helenisme dari Bangsa Yunani. Pada awalnya, di ajaran agama Buddha tidak ada maksud untuk mendirikan patung.
Namun setelah Bangsa Yunani masuk ke India dengan budaya Helenisme, mereka mulai membentuk image Buddha dalam wujud patung. Karena terbukanya Jalur Sutra (Silk Road), agama dan image patung Buddha mulai tersebar ke negara-negara yang dilewatinya (termasuk Asia Tenggara dan China).
Akan tetapi, ketika budaya Buddha berada di masing-masing negara, image Buddha mulai bercampur dengan budaya lokal dari masing-masing menara. Hal ini dikarenakan pendirian patung bila tidak dicampur dengan budaya lokal, masyarakat tidak akan tertarik.
Patung yang dulu hanya dijadikan sebagai alat pemujaan oleh golongan atau ajaran tertentu, kini bisa juga menjadi sarana media berpromosi yang tepat untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat.
Berbicara mengenai patung, di Indonesia memiliki beragam jenis patung. Patung-patung ini biasanya menyimpan sebuah peninggalan sejarah besar.
Salah satunya yaitu Patung Buddha Tidur. Patung Buddha Tidur dibangun di dalam kompleks Maha Vihara Mojopahit. Di Indonesia, patung Buddha Tidur hanya terdapat pada wisata sejarah di Mojokerto dan Bogor.
Menurut para pengamat, patung buddha tidur di Mojokerto merupakan patung terbesar di Indonesia. Patung ini juga menempati urutan ketiga setelah patung sejenis yang berada di Thailand dan Myanmar.
Patung Buddha Tidur (Sleeping Buddha) ini terletak di Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Lokasinya berada di tengah perkampungan yang dekat dengan desa persawahan, sehingga menjadikan suasana disana menjadi tenang dan sejuk khas pedesaan.
Tempat ini sering mendapat kunjungan wisatawan, baik untuk beribadah maupun rombongan non-Buddhis, terutama hari libur sekolah yang banyak dikunjungi oleh para pelajar
Pihak pengelola vihara cukup terbuka menerima kedatangan rombongan darimanapun dan akan memberikan informasi tentang hal-hal yang terkait dengan keberadaan tempat ini.
Untuk menuju lokasi desa Bejijong bisa menggunakan kendaraan pribadi atau kendaraan umum, misalnya bus karena lokasinya mudah dijangkau dan dekat dengan jalur jalan raya lintas Provinsi Jawa Timur.
10. CANDI MINAK DJINGGO
Situs Candi Minak Jinggo berada di sebelah Timur salah satu situs legendaris peninggalan Kerajaan Majapahit, yaitu Kolam Segaran, tepatnya di Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto – Atau sekitar 100 meter di sebelah Selatan makam atau petilasan Putri Campa.
Berbeda dengan kebanyakan candi di kawasan Cagar Budaya Nasional Trowulan yang menggunakan bahan batu bata merah, Candi Minak Jinggo memiliki susunan yang memadukan antara batu andesit dengan batu bata merah. Hal tersebut merupakan satu-satunya di kawasan cagar budaya ini.
Pada candi yang juga disebut sebagai “Sanggar Pamelengan” ini ditemukan 2 buah arca yang menggambarkan Mahakala atau Bairawa dengan ciri-ciri berwajah raksasa, mata melotot, bertaring, bersanggul ular, dan tangan kanan memegang pisau belati, dan sebuah arca Kala Makara.
Ketiganya kini disimpan di Museum Trowulan, Mojokerto. Selain itu, ditemukan juga sebuah arca Garudha, yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai arca Minak Jinggo.
Merujuk pada motif dan model relief candi yang masih tersisa, para ahli pun menyimpulkan bahwa Candi Minak Jinggo ini adalah peninggalan Kerajaan Majapahit.
Candi Minak Jinggo terdiri dari dua bagian. Bagian utama berupa susunan bata merah yang menyerupai labirin. Di tengahnya terdapat tempat mirip altar yang diyakini sebagai tempat ritual khusus untuk Raja Hayam Wuruk dan atau keluarga Kerajaan Majapahit.
Di altar ini juga ditemukan rahang kepala naga yang hingga saat ini masih berada di tempat ditemukan. Di bagian kedua, terdapat tumpukan batu andesit di sisi barat bangunan utama candi.
Meski proses ekskavasi belum selesai dan para ahli juga belum dapat menentukan bentuk sebenarnya dari Candi Minak Jinggo, namun candi ini tetap dapat dikunjungi. Juru Pelihara Candi Minak Jinggo ini pun akan dengan senang hati menemani dan menjelaskan terkait dengan Candi Minak Jinggo.
11. PENDOPO AGUNG TROWULAN
Kalau sedang menikmati wisata sejarah di Mojokerto tidak ada salahnya untuk mengunjungi sebuah tempat yang ada di dalam kawasan purbakala Trowulan. Namanya adalah Pendopo Agung Trowulan. Tempat ini cukup menarik perhatian, karena berlokasi di area yang dianggap sakral oleh warga setempat.
Pendopo Agung Trowulan dibangun pada tahun 1964 sampai 1973 oleh Kodam-V Brawijaya di Dusun Nglinguk, Desa Trowulan, Kecamatan Trowulan, Kab. Mojokerto.
Bangunan itu konon berada di lokasi bekas Pendopo Agung Kerajaaan Majapahit pada masa lalu yang merupakan tempat Mahapatih Gajah Mada mengucapkan Sumpah Palapa.
Sesaat setelah masuk melalui gerbang, di sebelah kiri terlihat ada cungkup kecil. Di dalamnya terdapat tugu prasasti dan di atasnya ada sebuah patung Mahapatih Gajah Mada yang hanya sebentuk dada sampai kepala.
Patung tokoh Patih Gajahmada yang sangat terkenal itu diresmikan oleh Komando Pusat Polisi Militer pada tanggal 22 Juni 1986.
Tepat di hadapan patung Mahapatih Gajahmada kalian akan menemukan sebuah monumen yang bertuliskan komitmen para tokoh bangsa untuk tetap menjaga keutuhan negara. Pada monumen ini juga terlihat ditandatangani pada 21 Februari 2008 oleh tokoh-tokoh terkenal.
Seperti Menteri Kebudayaan dan Pariwisata pada saat itu, Gubernur Jawa Timur, dan beberapa pejabat teras lainnya yang berkuasa pada tahun 2008.
Kemudian, tak jauh dari monumen dan prasasti, ada patung yang menggambarkan sosok Raja Brawijaya, penguasa Majapahit. Dengan posisi berdiri tegak yang di atasnya ada sebuah payung kerajaan berwarna keemasan.
Bagian dalam Pendopo Agung Trowulan hampir keseluruhannya terbuat dari kayu, kecuali dasar pilar yang menggunakan umpak batu. Lalu bangunan di belakang pendopo, terdapat deretan relief yang menceritakan sejarah Kerajaan Majapahit.
Selain itu, kalian juga akan menemukan nama-nama Panglima Kodam Brawijaya yang dipahat di salah satu bagian dinding.
Lebih ke belakang lagi ada Petilasan Panggung, yang bangunannya berupa joglo kecil dan terpisah dari area Pendopo Agung Trowulan. Petilasan itu merupakan lokasi yang dipercaya sebagai tempat Raden Wijaya melakukan semedi sebelum ia membuka pemukiman di hutan Tarik di tepian Sungai Brantas yang menjadi cikal bakal Kerajaan Majapahit.
Di dalam bangunan indah ini, kalian bisa melihat beberapa foto lawas terpajang di pojokan-pojokan pendopo. Foto-foto ini terdiri dari beberapa candi yang ditemukan di daerah Trowulan dan ada juga gambaran Pendopo Agung Trowulan ini saat awal pembangunannya dulu.
Pendopo yang berlantai marmer serta atapnya dari kayu, membuat tempat ini memberikan kesejukan tersendiri bagi para pengunjungnya. Oleh karenanya, pendopo ini kerap kali digunakan para pengunjung untuk bersantai. Biasanya pengunjung yang duduk-duduk di pendopo lebih banyak terlihat pada siang hari.
Jadi, itulah Pendopo Agung Trowulan yang wajib kalian kunjungi di Mojokerto. Selain menyediakan beragam sejarah, tempat ini juga memberikan keteduhan bagi para pengunjungnya.
12. RECO LANANG TRAWAS
Objek Wisata yang satu ini bisa menjadi opsi destinasi wisata sejarah di Mojokerto. Reco Lanang ini merupakan sebuah arca yang dibuat dari batu andesti.
Arca ini merupakan sebuah gambaran dari wujud salah satu Dhyani Budha yang dinamakan Akshobhya. Akshobhya ini merupakan penguasa arah mata angin sebelah timur menurut agama Budha.
Arca Akshobhya ini sendiri memiliki ukuran dengan tinggi 5,7 meter sehingga terlihat lumayan besar. Kini, sudah terdapat banyak pemahat lokal di Trowulan yang mahir membuat arca menyerupai peninggalan kerajaan Majapahit ini, sehingga tak heran jika banyak pembeli yang memesan patung yang menyerupai arca Akshobhya.
Anda bisa melihat sendiri bukti peninggalan sejarah ini di desa Kemloko yang berada di kecamatan Trawas atau sekitar 40 kilometer jaraknya dari pusat kota Mojokerto
13. CANDI JAWI
Candi Jawi terletak di kaki G. Welirang, tepatnya di Desa Candi Wates, Kecamatan Prigen, Kabupaten Pasuruan, sekitar 31 km dari kota Pasuruan.
Bangunan candi dapat dikatakan masih utuh karena telah berkali-kali mengalami pemugaran. Candi Jawi dipugar untuk kedua kalinya tahun 1938-1941 dari kondisinya yang sudah runtuh. Akan tetapi, pemugaran tidak dapat dituntaskan karena banyak batu yang hilang dan baru disempurnakan pada tahun 1975-1980.
Dalam Negarakertagama pupuh 56 disebutkan bahwa Candi Jawi didirikan atas perintah raja terakhir Kerajaan Singasari, Kertanegara, untuk tempat beribadah bagi umat beragama Syiwa-Buddha. Raja Kartanegara adalah seorang penganut ajaran Syiwa Buddha.
Selain sebagai tempat ibadah, Candi Jawi juga merupakan tempat penyimpanan abu jenazah Kertanegara.
Hal ini memang agak mengherankan, karena letak Candi Jawi cukup jauh dari pusat Kerajaan Singasari. Diduga hal itu disebabkan karena rakyat di daerah ini sangat setia kepada raja dan banyak yang menganut ajaran Syiwa-Buddha.
Dugaan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa saat Raden Wijaya, menantu Raja Kertanegara, melarikan diri setelah Kertanegara dijatuhkan oleh Raja Jayakatwang dari Gelang-gelang (daerah Kediri), ia sempat bersembunyi di daerah ini, sebelum akhirnya mengungsi ke Madura.
Candi Jawi menempati lahan yang cukup luas, sekitar 40 x 60 m2, yang dikelilingi oleh pagar bata setinggi 2 m. Bangunan candi dikelilingi oleh parit yang saat ini dihiasi oleh bunga teratai. Ketinggian candi ini sekitar 24,5 meter dengan panjang 14,2 m dan lebar 9,5 m.
Bentuknya tinggi ramping seperti Candi Prambanan di Jawa Tengah dengan atap yang bentuknya merupakan paduan antara stupa dan kubus bersusun yang meruncing pada puncaknya.
Posisi Candi Jawi yang menghadap ke timur, membelakangi Gunung Pananggungan, menguatkan dugaan sebagian ahli bahwa candi ini bukan tempat pemujaan, karena candi untuk peribadatan umumnya menghadap ke arah gunung, tempat bersemayam kepada Dewa.
Sebagian ahli lain tetap meyakini bahwa Candi Jawi berfungsi sebagai tempat pemujaan. Posisi pintu yang tidak menghadap ke gunung dianggap sebagai akibat pengaruh ajaran Buddha.
Salah satu keunikan Candi Jawi adalah batu yang dipakai sebagai bahan bangunannya terdiri dari dua jenis. Dari Kaki sampai selasar candi dibangun menggunakan batu berwarna gelap, tubuh candi menggunakan batu putih, sedangkan atap candi menggunakan campuran batu berwarna gelap dan putih. Diduga candi ini dibangun dalam dua masa pembangunan.
14. CANDI CUNGKUP PACET
Candi Cungkup terletak di Desa Kesimantengah, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. Berada di pinggir sungai dan berada di persawahan sekitar 500m dari perkampungan warga desa Kesimantengah.
Dari relief yang berada di dinding candi menggambarkan kisah Ramayana karena dalam relief terukir gambar Hanoman,Dewi Sintha, Rahwanaraja atau Dasamuka.
Menurut seorang ahli pewayangan relief itu mengisahkan penculikan Dewi Sintha oleh RahwanaRaja atau Dasamuka dan mendapat pertolongan oleh Hanoman.
Sayangnya candi ini tidak tergali dengan seluruhnya dan tinggal potongan pada sebelah dasar candi. Dari sisa-sisa peninggalan nampak candi ini sebenarnya tergolong besar namun tinggal sedikit, mungkin hancur karena gempa bumi atau letusan gunung Welirang yang berada tak jauh dari lokasi candi.
Dari modelnya candi ini kayaknya berfungsi sebagai tempat Perabuan jenasah Para Raja Titisan Dewa Wisnu. Dan dari kisah Raja-raja Jawa yang masih Titisan Dewa Wisnu adalah Raja-raja Majapahit. Belum ada informasi yang akurat Raja Majapahit siapa yang diperabukan di candi ini.
Yang agak aneh dari relief candi ini adalah adanya relief Semar berdampingan dengan kisah Ramayana karena menurut ahli Pewayangan cerita Semar ada jauh sebelum kisah Ramayana yang artinya candi kemungkinan besar sudah ada sebelum akhirnya dipugar kembali untuk perabuan jenasah Para Raja.
15. CANDI BANGKAL NGORO
Situs Candi Bangkal berada di dekat Kali Porong tepatnya berada di sebelah barat Kali Porong dan berada di sekitar pemukiman penduduk. Area candi dikelilingi pagar pembatas berupa pagar kawat berduri dengan akses pintu masuk berada di sebelah barat.
Terdapat pos jaga di dekat pintu masuk area candi. Posisi Candi Bangkal lurus dengan pintu masuk area candi. Candi yang terletak di Desa Candiharjo, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto dikelilingi oleh lahan persawahan kecuali pada sisi barat berupa lahan pemukiman.
Di sisi utara candi terdapat tiga makam yang terlindungi sebuah cungkup. Makam tersebut oleh masyarakat dikenal sebagai makam tokoh yang membuka daerah tersebut (babad alas) dan keluarganya yang bernama Mbah Ngadimun, Ki Ageng Musyarofah (istri Mbah Ngadimun) dan Abdul Salam (anak).
Selain makam terdapat sebuah pendopo terbuka dan satu ruangan tertutup sebagai tempat meletakkan peralatan mengurus jenazah. Saat musim hujan area candi tergenang air. Di depan candi induk terdapat susunan bata sebagai candi perwara dan pembatas bata mengeliling bangunan candi. Pada sisi utara di bawah pohon soeko terdapat beberapa antefik dan blok batu candi.
Keberadaan Candi Bangkal pernah dibahas secara singkat oleh N.J.Krom pada tahun 1923 dalam bukunya Inleiding tot de Hindue Javaansche Kunst. Kemudian E.B Volger dalam bukunya De Monsterkop in de Hindoe-Javaansche Bouwkunst menjelaskan keberadaan serta membahas kepala kala yang ada pada candi tersebut.
Candi ini diperkirakan dibangun pada masa Majapahit namun hingga kini masih dapat kita jumpai dan masih berdiri kokoh didasarkan pada ciri khas bahan dasar pembentukannya berasal dari bahan bata, namun beberapa pondasi dan undakan berbahan batu andesit.
Belum ada data referensi yang dapat menjelaskan keberadaan candi ini, namun kondisi Candi Bangkal yang menghadap ke Barat diperkirakan sebagai tempat upacara keagamaan.
Keberadaan Candi Bangkal yang berada di dekat Kali Porong dapat memiliki makna simbolik sebagai penolak atau mencegah marabahaya yang datang dari determinasi (kekuasaan) alam pada sungai tersebut.
Pada masa kini masyarakat masih menggunakan keberadaan candi ini sebagai suatu tempat yang dianggap sakral yaitu kegiatan setelah panen, warga setempat menggelar acara sedekah bumi.(Lap. Inventarisasi Kab.Mojokerto Tahap II)
16. MUSEUM GUBUG WAYANG
Didirikan oleh Yensen Project Indonesia sebagai wujud rasa peduli terhadap wisata sejarah di Mojokerto juga seni budaya Indonesia yang beraneka ragam. Kecintaaan terhadap sejarah seni dan budaya Indonesia memberikan semangat untuk menjaga dan melestarikannya.
Koleksi yang ada meliputi wayang dari berbagai daerah di Indonesia, pusaka asli Indonesia, alat musik tradisional, mainan anak–anak, topeng dan lain lainnya.
Wisata Edukasi Seni dan Budaya menjadi tujuan utama berdirinya Museum Gubug Wayang Mojokerto. Dengan tujuan, agar masyarakat lebih mengenal dan merasa memiliki seni dan budaya yang sudah diwariskan secara turun temurun.
Sebagai salah satu pilar seni dan budaya Indonesia yang menghadirkan berbagai keberagaman Nusantara, museum ini memiliki peranan penting dalam pendidikan karakter budaya masyarakat Indonesia.
Museum yang diresmikan pada tanggal 15 Agustus 2015, berlokasi di tengah Kota Mojokerto. Dengan bangunan tiga lantai, Museum Gubug Wayang menghadirkan berbagai karya anak bangsa dari berbagai macam daerah.
Kecintaan Gubug Wayang akan indahnya budaya di Indonesia menjadi semangat untuk terus berbenah dan memberikan informasi sejarah tentang seni dan budaya Indonesia.
17. CANDI JEDONG NGORO
Candi Jedong terletak di Desa Wotanmas Jedong, Kecamatan Ngoro Kabupaten Mojokerto. Dari Kota Mojokerto sekitar 30 km ke arah timur.
Bangunan dari abad ke-14 ini terletak di lereng utara Gunung Gajah Mungkur, salah satu puncak dari Gunung Penanggungan. Tepatnya di sekitar 2 km sebelah selatan Kawasan Industri Ngoro.
Daya tarik Situs Jedong adalah keberadaan dua bangunan tua berbentuk gapura. Kedua bangunan ini juga popular disebut sebagai Candi Jedong. Menurut laporan tahun 1907 di Desa Jedong ada tiga buah gapura, saat ini tinggal dua buah yang masih utuh.
Gapura yang dari batu bata terletak di sebelah utara terpahat angka 1326 Masehi dan sekarang tinggal reruntuhannya saja. Sedangkan dua buah gapura dari batu andesit yang berdiri biasa kita lihat berporos (arah pintu) barat timur masing-masing letaknya berjarak 80 meter. Kedua gapura terletak di sisi barat sebuah teras dengan bekas pagar tembok keliling.
18. GOA GEMBYANG PACET
Berlokasi di Jingring, Sumberkembar, Pacet, Mojokerto – Jawa Timur, spot petualangan kali ini penuh dengan legenda, mistis dan misteri. Namun, berbagai faktor tersebut tidak membuat keindahan alam yang ada di spot petualangan ini
Konon katanya gua yang memiliki keindahan alam yang indah ini merupakan salah satu tempat pertapaan Raden Wijaya sebelum ia menjadi raja dari Kerajaan Majapahit. Para penilik sejarah mengira kalau ia mendapatkan wahyu atau wangsit untuk mendirikan Majapahit.
Nama gua ini diambil dari nama para leluhur yang pernah singgah di sini. Gembyang sendiri adalah seorang pengikut Raden Wijaya, yang akhirnya mengabdi pada beliau di gua tersebut, sehingga gua tersebut sampai diberi nama Gembyang.
Banyak cerita legenda dan mistis yang membuat Gua Gembyang berkaitan dengan sejarahnya Kerajaan Majapahit. Salah satunya adalah cerita berbagai pusaka sakti para leluhur Majapahit yang bersemayam di gua tersebut.
Tidak ayal, gua tersebut sampai sekarang masih suka didatangi para pertapa yang akan meminta sesuatu. Tidak heran banyak misteri dan mistis yang menceritakan kalau para pertapa yang suka meminta sembarang, malah mendapatkan petaka di gua tersebut.
Gua Gembyang merupakan gua alam. Artinya, gua ini terbentuk secara alami dan tidak ada campur tangan manusia. Berada di arah timur dari bukit, gua ini cocok sekali untuk melihat matahari terbit. Semburat oranye yang dikeluarkan matahari menyinari mulut gua, pemandangan yang cukup indah.
Legenda dan cerita petilasan yang lainnya, adalah Gua Gembyang menjadi salah satu tempat untuk berlindungnya Erlangga. Erlangga adalah putra dari Raja Udayana, dari Kerajaan Bedahul Bali.
19. CANDI KEDATON & SUMUR UPAS
Candi Kedaton adalah salah satu candi peninggalan Kerajaan Majapahit dan termasuk dalam wisata sejarah di Mojokerto (Sejarah Kerajaan Majapahit).
Diduga candi ini sudah ada pada abad ke 13. Dilihat dari bentuk Candi Kedaton, diduga bangunan ini dulunya merupakan rumah dari seseorang yang memiliki kedudukan yang cukup istimewa di masa Kerajaan Majapahit. Mereka yang tinggal di kawasan ini biasanya memiliki gelar bangsawan.
Nama Dusun Kedaton sendiri yang merupakan lokasi dari Candi Kedaton memiliki arti kerajaan dan singgasana. Hal ini mengindikasikan bahwa Dusun Kedaton merupakan kompleks tertutup yang menjadi kediaman raja, anak-anak raja, dan keluarga kerajaan lainnya.
Cerita yang santer terdengar adalah Candi Kedaton merupakan tempat tinggal Dyah Wiyat dan Dyah Gayatri. Dyah Wijat adalah putri bungsu Raden Wijaya dan Gayatri, dan memiliki kakak kandung yaitu Dyah Gayatri.
Candi Kedaton juga diduga sebagai tempat pertemuan di mana para punggawa kerajaan menghadap sang raja yang letaknya di sudut selatan Candi Kedaton.
Masih satu kawasan yang sama dengan Candi Kedaton, terdapat pula mulut gua, lorong rahasia dan sumur yang bernama Sumur Upas. Dipercaya gua yang ada merupakan tempat semedi atau pertapaan keluarga Kerajaan Majapahit.
Sedangkan lorong rahasia, diduga menjadi tempat pelarian yang juga menghubungkan Kerajaan Majapahit dengan kerajaan lainnya. Konon Candi Kedaton memiliki dhanyang yang berupa kala raksasa.
Kala raksasa merupakan makhluk yang mirip kalajengking. Makhluk tersebut sering menampakkan diri di lorong-lorong Candi Kedaton. Kalajengking itu dipercayai sebagai lelembut dan bukan makhluk sebenarnya.
Di situs kompleks Kedaton, selain Candi Kedaton juga terkenal Sumur Upas, Letak Candi Kedaton berada di sisi kiri kompleks situs Kedaton, sedangkan Sumur Upas terletak di tengah-tengah situs.
Air pada Sumur Upas mengandung kadar racun yang sangat tinggi, sehingga air yang berasal dari Sumur Upas tidak bisa digunakan oleh manusia karena bisa merusak sistem saraf manusia. Air dari Sumur Upas hanya bisa digunakan untuk merendam atau memandikan pusaka-pusaka.
Sumur Upas juga dipercaya menjadi tempat latihan bagi ksatria-ksatria kerajaan dan kemudian melahirkan para prajurit yang tangguh. Konon, Sumur Upas ini juga merupakan terowongan yang bisa menembus sampai ke laut selatan.
20. KAMPUNG MAJAPAHIT
Trowulan, sebuah kecamatan yang mempunyai potensi wisata sejarah di Mojokerto, dipercaya oleh banyak arkeolog sebagai ibukota kerajaan Majapahit. Salah satu kerajaan besar yang pernah ada di tanah Jawa. Banyak temuan, baik candi, petirtaan, bekas pemukiman, kanal, kolam besar serta sebaran kekunaan yang tersebar di area ini.
Terilhami oleh kemashyuran Majapahit dan potensi wisata purbakala yang demikian besar, maka sejak 2 tahun terakhir di beberapa titik kawasan Trowulan sedang disulap menjadi “Kampung Majapahit” Kampung Majapahit adalah kawasan pemukiman penduduk berupa deretan rumah tinggal berarsitektur Majapahit.
Rencana awal akan dibangun sebanyak 296 rumah bernuansa Majapahit yang disebar di tiga desa; Bejijong, Sentonorejo dan Jatipasar.
Tapi agaknya, jumlah rumah yang direnovasi jadi rumah berarsitektur Majapahit akan terus bertambah. Boleh jadi, inisiator Kampung Majapahit adalah Soekarwo atau Pak De Karwo, gubernur Jawa Timur sendiri, lantaran dalam beberapa kali kesempatan mendengarkan pidato beliau. Kemegahan, kemashyuran dan nama besar Majapahit selalu terselip di dalamnya. Agaknya Majapahit begitu menginspirasi beliau. Tak pelak, anggaran dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemkab Mojokerto pun digelontorkan untuk pengerjaan proyek ini sejak tahun 2014.
Rumah di Kampung Majapahit berbahan bata merah jenis press tanpa finishing plester. Dinding bata merah yang tetap terbuka memunculkan kesan alami dan ramah lingkungan yang begitu kuat.
Ciri lainnya adalah, di ujung atapnya terdapat bubungan yang berornamen lengkungan. Begitu dilengkapi dengan pintu dan jendela kupu tarung berbahan kayu yang diwarna senada dengan warna bata merah, kesan jadul dan tradisionalnya begitu mencolok.
Menurut informasi, dalam waktu dekat, pagar yang membatasi rumah dengan jalan desa juga akan disulap total dengan menjadi pagar berdesain tradisional ala Majapahit. Sungguh khas dan artistik.
Jika semua pembangunan rumah termasuk pagar di Bejijong selesai dan diikuti dengan rampungnya bangunan serupa di kawasan Sentonorejo, Jatipasar juga Segaran, saya membayangkan munculnya kawasan wisata budaya yang luar biasa di Kabupaten Mojokerto, di Trowulan khususnya.
Ini adalah salah satu pengembangan kawasan wisata yang patut diapresiasi. Saya membayangkan, di lokasi ini kelak akan muncul semacam kompleks Kampung Majapahit yang mirip-mirip dengan kawasan Desa Wisata Tradisional di Bali.
Tidak hanya berciri khas di bangunannya, tapi juga dilengkapi dengan atraksi budaya yang periodik. Maka, Trowulan akan makin moncer. Tidak saja sebagai kawasan Cagar Budaya yang dilindungi, tapi juga akan menjadi destinasi wisata budaya andalan Jawa Timur.
Tentu saja seiring makin melonjaknya kunjungan wisatawan, akan mendongkrak geliat ekonomi rakyat di sekitarnya. Karena, rumah-rumah bergaya Majapahit itupun layak menjadi semacam homestay bagi para pengunjung, selain digunakan untuk berdagang, rumah tinggal atau art shop.
21. CANDI SELOKELIR TRAWAS
Bicara Mojokerto tak bisa lepas dari situs-situs peninggalan masa lalu. Banyak candi-candi di Gunung Penanggungan ini menjadi bukti kalau Mojokerto merupakan pusat pemerintahan kerajaan- kerajaan masa lampau.
Tak hanya Majapahit, Mojokerto juga pernah dijadikan pusat pemerintahan kerajaan – kerajaan sebelum Majapahit. Tanda-tanda kebesaran kerajaan sebelum Majapahit terlihat jelas dengan bukti beberapa situs candi yang berada di sekeliling Gunung Penanggungan.
Salah satunya adalah keberadaan Candi Selokelir, candi yang berada di ketinggian 760 di atas permukaan laut (dplm) ini menjadi saksi bisu kejayaan kerajaan sebelum Majapahit. Candi ini diperkirakan ada sekitar abad 11 atau 12 Masehi.Ada juga petunjuk menyebutkan, candi yang terletak di sebelah barat Gunung Bede ini ada sekitar tahun 1404 Masehi.
Petunjuk ini ditemukan di Goa Buyung disekitar Candi Selokelir,di dalam goa muncul beberapa kesamaan ukiran dan bentuk batu bata yang terbuat dari batu andesit.
Selain itu,tanda-tanda kebesaran peninggalan purbakala sebelum Majapahit terlihat dengan adanya bentuk bangunan berteras tujuh dan terbuat dari batu andesit. Batu-batu tersebut muncul pada zaman Hindu sebelum Majapahit.
Tanda tersebut terpampang di ukiran-ukiran yang mengedepankan lambang, corak bunga,dan simbol – simbol ditengah-tengah masyarakat.
Kondisi ini berbeda dengan zaman Budha,karena simbol – sombol kebesaran zaman Budha biasanya tertuang dengan menceritakan keadaan masyarakat. Sedangkan kondisi batubatu di Candi Selokelir kebanyakan bermotif bunga, kotak – kotak, dan coretan – coretan tiga di setiap batu. Fakta ini menunjukan, candi ini sudah ada sebelum masa Majapahit.
Namun, keberadaan batu-batu dan petunjuk-petunjuk lain sudah menguatkan kalau Candi Selokelir ada sebelum kerajaan Majapahit muncul. Bahkan ada kemungkinan, candi ini ada saat kerajaan Kediri masih berjaya.
Karena ukiran-ukiran yang tertuang dalam batu memiliki struktur kesamaan. Meski demikian, kepastian masih belum bisa dilakukan.
22. CANDI WRINGIN LAWANG
Candi Wringinlawang terletak di Dukuh Wringinlawang, Desa Jati Pasar, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, tepatnya 11 km dari Mojokerto ke arah Jombang. Konon dahulu di dekat candi terdapat pohon beringin yang besar sehingga candi ini dinamakan Candi Wringinlawang (dalam bahasa Jawa, wringin berarti beringin, lawang berarti pintu).
Tidak banyak yang diketahui tentang masa pembangunan maupun fungsi candi ini. Dalam tulisan Raffles tahun 1815, bangunan kuno ini disebut dengan nama Gapura Jati Paser. Sebutan itu kemungkinan berkaitan dengan nama desa tempat candi itu berada. Dalam tulisan Knebel tahun 1907, gapura ini disebut sebagai ‘Gapura Wringinlawang.’
Wringinlawang merupakan candi bentar, yaitu gapura tanpa atap. Candi bentar biasanya berfungsi sebagai gerbang terluar dari suatu kompleks bangunan. Menilik bentuknya, Gapura Wringinlawang diduga merupakan gapura menuju salah satu kompleks bangunan yang berada di kota Majapahit.
Gapura Wringinlawang telah mengalami pemugaran yang dilaksanakan sejak tahun 1991 sampai dengan tahun 1995. Keseluruhan bangunan yang menghadap timur-barat ini terbuat dari bata merah. Fondasi gapura berbentuk segi empat dengan ukuran 13 x 11,50 m. Sebelum dipugar belahan selatan gapura masih utuh, berdiri tegak dengan ketinggian 15,50 m., sementara belahan utara hanya tersisa 9 meter.
Itulah tadi informasi wisata sejarah di Mojokerto, semoga bisa menambah pengetahuan anda sehingga kita semua dapat terus melestarikan kekayaan budaya yang ada di Indonesia.
Informasi program outbound hubungi : 0822 1321 7720 (Call/WhatsApp)
Kontak Kami
Apabila ada yang ditanyakan, silahkan hubungi kami melalui kontak di bawah ini.
-
Hotline
082213217720 -
Whatsapp
082213217720 -
Email
enterprovider@gmail.com
1 komentar